Ubay Marto .
Begitulah nama
yang tertulis di KTP. Orang-orang
memanggilku cukup singkat, Ubay. Kata Ubay sendiri tak dapat kumengerti dengan
jelas artinya. Sedangkan Marto adalah nama Bapakku. Mungkin dengan menempelkan namanya dibelakang
namaku bapak berharap supaya aku selalu mengingatnya, dan selalu berbakti
kepadanya.
Walaupun nama di
KTP tertulis Marto, namun orang-orang lebih mengenal dengan nama Marto Bakri.
Pernah
kutanyakan kenapa namanya tidak sama dengan yang ada di KTP. Waktu kutanyakan
dengan simbok, jawabnya adalah dulu sebelum krisis moneter pada 1997, ternyata
bapak pernah berjualan kripik singkong. Karena tidak bisa mengejar harga minyak
goreng yang terus melangit akhirnya bapak K.O. alias bangrut dan memilih pensiun
dari bakul kripik.
Penghidupan sehari-hari kami
ditopang dengan sepetak sawah yang diperoleh orang tuaku dari bapaknya, alias
simbahku. Tak cukup luas, dan tak cukup pula untuk beaya hidup kamu
sehari-hari. Masih lekat dalam ingatanku semasa kecil bapak sering mblandong.
Mblandong adalah bahasa kami untuk mengambil kayu dihutan milik pemerintah.
Mungkin jika diartikan dengan bahasa sekarang adalah ‘Ilegal Loging’. Dua kata yang berbeda namun mempunyai arti yang sama. Yang membedakan
adalah jika mblandong dilakukan untuk mengamankan perut manusia, tetapi ilegal loging dilakukan
untuk mengaamankan pemilik perut buncit.
Dengan penghasilan bapak yang tidak
pasti, kami adalah keluarga miskin. Namun
walau miskin kami cukup bersyukur karena rumah kami tidak ditempel stiker
miskin. Karena memang waktu itu itu pemerintah belum berfikir tentang stiker
miskin. Beruntung juga kami semua selalu
sehat karena waktu itu belum ada JKRS atau ASKESKIN, keberuntungan sekanjutnya
adalah kami cukup makan dengan nasi jagung karena waktu itu belum ada RASKIN.
Walaupun kurang gizi, kata
orang-orang dulu sekolahku cukup pintar (dan
ketika masih kutemukan rapor SD memang nilainya bagus-bagus) Hal yang
paling berkesan adalah ketika kelulusan SMP. Ternyata aku adalah peringkat ke 3 dari 191 siswa kelas
paralelku waktu itu. Sudah menjadi kebiasaan disekolah kami setiap pengumuman
kelulusan sekaligus perpisahan sekolah kami selalu mengadakan pentas Kethoprak
yang dilakonkan oleh siswa-siswi.. Diatas panggung kami didampingi orang tua
masing-masing disaksikan ratusan pasang mata dari semua siswa dan wali murid
undangan.
Dengan nilai bagus aku dengan mudah
diterima di sebuah SMA. Dengan penuh perjuangan, aku lulus tepat waktu. Sesaat ada rasa syukur, bangga, karena
nilaiku bagus juga. Namun kebanggaanku musti kuhapus pelan, namun pasti. Karena
tanpa kuliah kumusti menganggur, dan untuk kuliah jelas suatu hal yang tidak
mungkin.
Sempat aku
berfikir,” Kenapa aku tidak bisa sama dengan yang lain.”
Akupun
mennyumbang satu angka untuk jumlah pengangguran dinegeri ini. Tak mau menjadi
pengangguran murni, aku kesana-kemari bekerja serabutan. Maklum ijazah SMA tak
cukup untuk bersaing dibursa pelamar kerja.
Beberapa tahun kemudian ada kabar
bahwa ada perkuliahan jarak jauh yang diadakan di kota kabupaten. Dengan
perkuliahan yang tidak setiap hari, aku berharap bisa kuliah sambil bekerja.
Waktu 2,5 tahun aku selesaikan perkuliahan dengan sebutan Ama Pd. Atau kurang
lebih artinya Sarjana Muda Pendidikan SD.
Bangga, haru,
ternyata aku sekarang adalah seorang guru, walaupun GTT. Syukur karena aku
masih diterima wiyata bakti di desaku sendiri. Karena jika tidak predikat
penganggur pasti kembali kusandang, karena mencari tempat GTT sama sulitnya
melamar menjadi pegawai negeri. Aku berkeyakinan dengan mengabdi disekolah akan
membuka jalan untuk sebuah pekerjaan mulia.
Menjadi Guru!
Aku telaten walaupun dengan honor Rp. 150.000.- sebulan.
Tentu nilai ini tidak cukup untuk kebutuhan satu bulan walau aku masih sendiri
alias bujangan. Jujur aku kepegin pada bapak dan ibu guru yang lain, gaji mereka sudah besar, ditambah
lagi dengan penerimaan uang sertifikasi.
Tahun ini teman GTT satu sekolah ada yang
lolos seleksi CPNS.
Beruntung sekali dia.
Padahal belum
genap setahun dia lulus kuliah.
Aku tak mau
percaya isu bahwa dia adalah angkatan 90.
Angakatn 90?
Apa itu?
Entahlah aku berfikir
positif saja, yang jelas dia lebih beruntung dari pada aku.
Yang lebih utama adalah aku musti ikhlas,
karena aku tidak punya apa-apa, tidak punya siapa-siapa, bahkan tak kenal
siapa-siapa yang bisa membantu aku.
Dari itulah
sering kuterima perlakuaan yang tidak adil.
Biar, biarlah,
pasti ada jalan lain yang lebih utama untuk sebuah keihklasan.
Walau jauh dari
kota \sekolahku sudaah mempunyai jaringan internet sendiri.
Disinilah aku
mengenal apa itu internet, aku pun menjadi berkenalaan dengan mbah Gegloo yang
pinternya pakai banget, bang Yohaa yang
bisa membantu bercakap jarak jauh dengan kelihatan gambar, juga dengan pamaan
Pesbuk yang bisa membantu mencari banyak teman.
Di dunia maya
akupun berganti nama Umar Bakri.
Umar dari Ubay
Marto,
Bakri dari Bakul
Kripik,
Klop banget
kayaaknya ya…?
Jadi ingat Lagu
Oemar Bakrinya Bang Iwan.
Semoga nasibku
kelak tidak seperti dalam isi lagu itu. Paling tidak aku adalah Umar Bakri era
kekinian yang kesanaa kemari mententeng laptop ( walau ini adalah milik sekolah ).]
Memanfaatkan jaringan Wi-Fi yang ada disekolah,
sering ketika itu kubawa komputer kecil ini kubawa di kelas.
Sementara anak aku suruh mengerjakan LKS, aku
membuka situs jejaring social, harap maklum saja waktu itu aku adalaah pecandu
yang setiap saat Update status.
Untung saja ini tidak berjalan lama kupikir aku tidak adil dengan
siswa-siswiku. Akupun bertekad menjadi Umar Bakri kekinian yang patuh terhadap
profesi, walaupun aku ini tidak siapa-siapa, tidakpunya apa-apa, dan mengenal siapa-siapa, dan jika benar ada
angkatan 90 kelak…..maka dengan sangat meyakinkan, selamanya aku hanya akan menjadi penonton yang
suatu saat terkena pukulan telak, dan .....................TERGELETAK!!!!!…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar