Sekolah Ramah Anak (SRA) adalah sekolah/madrasah yang aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi dan perlakuan salah lainya serta mendukung partisipasi anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus, terutama dalam perencanaan kebijakan pembelajaran dan pegawasan.
Mewujudkan sekolah ramah anak memerlukan pengembangan dalam hal berikut:
A. Pengelolaan Lingkungan Fisik
1. Aksesibilitas di Lingkungan Sekolah
Kemudahan Aksesibilitas dilingkungan sekolah inklusif ramah anak merupakan salah satu indikator kualitas layanan publik,khususnya bagian dari lingkungan sekolah yang ramah anak. Penyediaan desain lingkungan yang inklusif ramah anak, termasuk kemudahan bagi ABK dan penyandang disabilitas pada umumnya bahkan telah dituangkan dalam konvensi internasional.
Konvensi PBB tentang Hak Disabilitas (Convention on The Rights of People with Disability) menyatakan bahwa Disain universal adalah desain untuk produk, lingkungan, program, dan layanan yang dapat digunakan bagi semua orang semaksimal mungkin tanpa memerlukan desain tambahan atau desain khusus. “Desain universal” tidak bertujuan untuk meniadakan alat bantu bagi disabilitas tertentu jika memang mereka membutuhkan.
Tiga belas hal pertama yang sering kita temui pada bangunan umum adalah tangga yang harus dijajaki sebelum bisa masuk ke gedung. Tangga sering kali menjadi penghambat pertama bagi banyak anak dan orang dewasa dalam mengakses sekolah atau bangunan umum lainnya. Secara langsung hambatan tersebut juga menghalangi mereka untuk menikmati layanan-layanan yang ditawarkan oleh fasilitas ini. Terkadang tangga hanya memilki dua atau tiga anak tangga namun terdapat pula tangga yang memilki begitu banyak anak tangga. Beberapa tangga sudah memiliki pegangan rambat di kedua sisinya guna meringankan langkah pengguna, tapi kebanyakan belum memilikinya.
Dengan demikian semua bangunan umum harus menyediakan beberapa cara alternatif untuk masuk kedalamnya. Lantai yang landai (ramp) umumnya paling mudah dan relatif murah untuk dibangun (setidaknya pada bangunan 1 lantai) dan bermanfaat bagi banyak orang. Ramp seharusnya diadakan di semua bangunan sekolah dan bangunan umum lainnya. Ketika bangunan sekolah baru dirancang dan disain sedang dikembangkan, harus dipastikan bahwa semua bagian bangunan tersebut harus dapat diakses oleh semua orang. Ramp dan akses jalan lainya harus didesain sebagai satu kesatuan sehingga tidak menjadi akses terpisah bagi anak, guru, orang tua dengan disabilitas, wanita hamil, dan manula. Sebaliknya strategi desain seperti ini akan menghadirkan akses jalan dengan berbagai alternatif yang menarik bagi semua penggunanya. Ruang, pencahayaan, bahan dan warna yang digunakan mempengaruhi pengalaman pembelajaran yang kita dapatkan. Sekolah dapat menggunakan dengan baik elemen-elemen ini dalam menciptakan bangunan dan lingkungan yang mencerminkan kebutuhan dan keinginan para siswa dan stafnya. Sayangnya, sekolah sering dirancang dan dibangun tanpa sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan masyarakat penggunanya (Ian Kaplan, 2007).
Karena itu, desain universal tidak “hanya” terkait dengan pengadaan akses, tetapi juga dengan pengembangan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan ramah di sekolah. Sekolah yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip desain universal akan lebih efektif dalam memberikan layanan pembelajaran karena sekolah ini memungkinkan semua anak untuk belajar, berkembang, dan berpartisipasi, bukan sebaliknya “membuat anak menjadi tidak mampu” dengan menciptakan berbagai hambatan bagi perkembangan dan partisipasi mereka.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 2016, pasal 2 menyatakan bahwa aksesibilitas merupakan salah satu pelaksanaan dan pemenuhan hak disabilitas. Penjaminan hukum layanan aksesibilitas tersebut salah satunya dilakukan dalam rangkamemastikan pelaksanaan upaya penghormatan, pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas untuk mengembangkan diriserta mendayagunakan seluruh kemampuan sesuai bakat dan minat yang dimilikinya untuk menikmati,berperan serta, berkontribusi secara optimal, aman,leluasa,dan bermartabat dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara,dan bermasyarakat. Penerapan dan jaminan hak yang digariskan dalam UU nomor 8 tahun 2016 tersebut memiliki urgensi tinggi terutama kaitanya dengan upaya penyelenggaraan pendidikan inkusif yang telah memiliki kekuatan hukum dengan diundangkannya permendiknas no. 70 tahun 2009
2.
Sarana Prasarana dan Penataan Ruangan
Sarana dan prasarana pendidikan inklusif adalah perangkat keras maupun perangkat lunak yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif pada satuan pendidikan tertentu.Pada hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan tertentu itu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi aksesibilitas bagi kelancaran mobilisasi ABK, serta media pembelajaran yang sesuai dengan ABK (POS Pendidikan Inklusif, 2007)
a. Prinsif Desain Universal Layanan Pengembangan Aksesibilitas Sarana dan Prasarana Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif
Terdapat tujuh prinsip desain universal pengembangan aksesibilitas sarana dan prasarana dalam layanan Pendidikan inklusif yang ramah anak. Ketujuh prinsif tersebut adalah sebagai berikut :
Prinsip 1 : dapat digunakan oleh semua orang. Sebuah desain harus dapat digunakan dan bermanfaat bagi semua orang termasuk penyandang disabilitas. Penyediaan aksesibilitas bagi semua anak di sekolah dan di dalam sarana dan prasarana sekolah dapat diwujudkan melalui langkah yang sederhana dan hemat biaya.
Prinsip 2 : fleksibel dalam penggunaannya. Sebuah desain harus dapat mengakomodir beragam pilihan kenyamanan dan kebutuhan dalam penggunaannya.
Prinsip 3 : mudah digunakan. Sebuah desain harus mudah untuk dipahami bagi semua pengguna sebagai individu yang memiliki latar belakang pengalaman, pengetahuan, kemampuan bahasa, dan tingkat pemusatan konsentrasi yang berbeda-beda.
Prinsip 4 : informasi penggunaan yang jelas. Sebuah disain harus dapat memberikan informasi yang diperlukan secara jelas bagi para penggunanya yang memiliki perbedaan pada tingkat fungsi dan kondisi alat indera. Terkait pembelajaran di sekolah, maka sebaiknya buku pembelajaran dicetak dengan tinta dan juga Braille. Buku cetak tinta sebaiknya berkualitas baik dan memiliki paduan warna yang kontras. Minimal ukuran huruf yang digunakan (font) adalah 12. Jika buku dicetak dengan menggunakan ukuran huruf yang lebih kecil, maka buku cetak besar juga harus disediakan untuk anak penyandang low vision.
Prinsip 5 : toleransi untuk kesalahan. Sebuah desain harus meminimalisir tingkat bahaya dan konsekuensi kerugian yang ditimbulkan jika terjadi kekeliruan atau kesalahan dalam penggunaannya.
Prinsip 6 : tidak memerlukan banyak tenaga fisik dalam penggunaannya.Sebuah disain harus dapat digunakan secara efisien, nyaman, dan tidak menyebabkan kelelahan pada penggunanya.
Prinsip 7 : ukuran dan ruang yang tepat. Ukuran dan lebar yang sesuai dalam sebuah disain ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi penggunanya dalam menjangkau, mendekati, mengembangkan, dan menggunakan terkait dengan ukuran, postur, dan kemampuan mobilitas pengguna yang berbeda-beda
Ruang kelas yang fleksibel bagi semua penggunanya (kursi dapat dipindahkan), bangunan dengan lantai yang rata, jalan masuk tanpa tangga, akses masuk pintu yang cukup lebar, tombol yang bisa dikenali melalui indra peraba, pengaturan pencahayaan yang sesuai, rambu-rambu atau pelabelan yang jelas, dll. (Unesco, 2009)
b. Saran Praktis untuk Menciptakan Aksesibilitas di Ruang Kelas
- Pintu harus mudah dibuka dan ditutup serta tidak memerlukan banyak tenaga
- Dalam membukanya (secara berangsur-angsur pintu yang sudah tua sebaiknya diganti). Sebaiknya gunakanlah pintu geser (sliding door) atau jenis pintu lain yang tidak menggunakan daun pintu agar tidak menghalangi akses bagi pengguna kursi roda. Pintu harus dibuat selebar mungkin agar mudah dilalui kursi roda.
- Sediakan ramp bagi pengguna kursi roda (kelandaian ramp sebaiknya tidak terlalu curam, ukuran ideal 1: 12 dengan penambahan panjang12cm dalam setiap kenaikan tinggi 1 cm. Standar minimum: 1:10 dengan penambahan panjang 10 cm dalam setiap kenaikan tinggi 1 cm dan lebar ramp adalah 120 cm. Sedangkan ukuran kelandaian ideal adalah 1: 20 dengan lebar 95 cm. (dikutip dari “Aksesibilitas Fisik” diterbitkan oleh Arbeiter Samariter Bund (ASB).
- Tempatkan stop kontak dan saluran listrik pada satu posisi yang sama di setiap kelasnya dan sebaiknya diletakkan di atas meja dekat saklar sehingga memudahkan semua anak dalam penggunaannya terutama anak penyandang tunanetra dan disabilitas fisik.
- Perhatikan standar keamanan saat pemasangan segala jenis instalasi listrik, utamakan penggunaan perangkat yang memiliki fitur keamanan bagi anak. Misalnya dengan menggunakan stop kontak tertutup untuk mencegah anak memasukan jarinya ke dalam stop kontak yang dapat mengakibatkan anak terkena sengatan listrik.
- Gunakan warna-warna kontras untuk menciptakan lingkungan yang aksesibel dan ramah terhadap pembelajaran .
- Suara atau tingkat kegaduhan di dalam kelas dapat diminimalisir dengan menggunakan gorden, dekorasi dinding dari bahan tekstil, dan bahan peredam suara lainnya.
- Kodifikasi (penggunaan kode) warna sebaiknya digunakan untuk membedakan ruang kelas. Penerapan kodifikasi ini akan memudahakan siswa terutama anak penyandang low vision, tunagrahita, lamban belajar dan lain-lain. Penerapan berbagai warna juga akan membuat kesan sekolah yang ceria dan menyenangkan bagi semua.
- Setiap pintu sebaiknya dilengkapi dengan simbol penanda atau keterangan dalamhuruf braille sebagai petunjuk bagi anak penyandang low vision maupun tuna netra. Petunjuk: Setiap bagian bangunan sekolah dan materi pembelajaran sebaiknya bersifat aksesibel sejak awal perancangan maupun pembangunannya. Dengan demikian penyediaan aksesibilitas akan lebih hemat biaya bila dibandingkan jika penyesuaian aksesibilitas dibuat setelah bangunan atau materi pembelajaran siap pakai.
- Jika di sekolah hanya lantai 1 saja yang aksesibel, maka pastikan pula semua kelas yang di dalamnya terdapat siswa tunadaksa (misal, menggunakan kursi roda/kruk) ditempatkan hanya di lantai 1 saja.
- Halaman sekolah atau arena bermain anak, tidak seharusnya menjadi area parkir karena dapat membahayakan semua warga sekolah. (Unesco, 2009)
- Guru harus mampu menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keaneka ragaman, dan menghargai perbedaan;
- Sekolah harus siap mengelolaa kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual;
- Guru harus mampu menerapkan pembelajaran yang interaktif, kolaboratif, dan memberikan stimulasi bagi terjadinya interaksi sosial diantara peserta didik yang beragam;
- Guru pada SPPI dituntut mampu melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumber daya manusia lain dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran;
- Guru pada SPPI dituntut mampu melibatkan orang tua peserta didik secara bermakna dalam proses Pendidikan
- Dadang Garnida ( 2015). Pengantar Pendidikan Inklusif. Bandung : PT. Refika Aditama
- Edi Prabowo (2018) Belajar Inklusif ke Negeri Kanguru. Jakarta : Media Guru
- Hermansyah (2014). Pengembangan Strategi Internalisasi Nilia-Nilai Kebersamaan pada Peserta Didik di Sekolah Dasar Inklusif-Disertasi. Bandung: UPI
- Hermansyah (2017). Strategi Internalisasi Nilai-Nilai Kebersamaan Peserta Didik di Sekolah Inklusif. Jakarta : Mediaguru
- J. David Smith (1998). Inclusion, School for All Student. Penerjemah -Denis,Ny Enrica (2015). Bandung : Nuansa Cendekia
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2012) Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus. Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif. Jakarta: Dikdasmen
- Lantip D. Prasojo. (2005). Manajemen sarana dan prasarana berbasis TI. Diakses pada situshttp://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/Manaj%20Sarana%20Pra sarana%20Berbasis%20TI.pdfpada tanggal 29 April 2013 pukul 19.24 WIB
- Muhammad Joko Susilo. (2008). Kurikulum tingkat satuan pendidikan: Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Oktina Dwi Kartikasari ( 2014). Manajemen Sarana Prasarana Pembelajaran di SD Tumbuh 1 Yogyakarta.Skripsi S1 universitas Negeri Yogyakarta.
- Prabowo, E (2018) Belajar Inklusif ke Negeri Kanguru. Jakarta : Media Guru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar