Hidup adalah sebuah perjalanan.
Perjalanan panjang yang
yang mesti dilalui oleh setiap makluk. Tentu makluk satu dengan yang lain
mempunyai warna tersendiri ,satu dengan yang lain tak akan sama. Bagi yang beruntung akan menjalaninya dengan lancar
seperti berjalan pada jalan yang lurus tanpa lubang. Sehingga hidup bisa
dimaknai dengan sesuatu yang sederhana. Berbeda denngan mereka yang penuh
dengan kesulitan, tentu yang belakang ini mengartikan hidup sebagai sesuatu
yang penuh dengan warna yang memerlukan terjemahan yang begitu rumit dan membosankan,
perlu strategi,kerja keras dengan upaya yang maksimal yang barang tentu disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing.
Pemikiran sederhananya adalah keberadaan kita hanyalah
sekedar bertahan hidup. Mempertahaankan hidup diantara sesama manusia dan
makluk-makluk ciptaan Tuhan yang lain. Tentu karena manusia dikarunia akan yang
lebih cerdik dari makluk lain, timbullah keinginan yang lebih dari sekedar
bertahan hidup. Timbul keinginan lebih
dari yang lain, sehingga seringkali berbenturan antara satu dengan yang lain,
ada yang dengan kekuatannya mereka memaksakan kehendaknya dengan orang lain,
ada yang pasrah, ada yang mempertahankan hak-haknya sehingga terjadi
perselisihan bahkan peperangan. Ada yang dengan kepintarannya dengan tega
mengambil hak-hak orang lain seperti halnya para koruptor yang bangga dengan
apa yang telah mereka perbuat, tanpa merasa bersalah melihat kehidupan sesamaanya
yang penuh dengan kekurangan. Jika si miskin berfikir apa yang besok dimakan,
maka berbeda dengan yang mereka rencanakan,” Besok kira-kira siapa ya, yang
bisa kumakan!” Jelas, sangat berbeda bukan?
Sifat dan tabiat mewarnai perjalanan kita. Pada dasarnya
kita akan bangga jika disebut sebagai orang kaya, ada sebagian dari kita yang bangga
dengan kekayaan yang di miliki, akan tetapi keadaan akan berbanding terbalik
ketika ada sesuatu yang gratis, dengan sukarela pula kita disebut miskin, demi
mendapatkan sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi haknya.
Jika kita mau sedikit meluangkan waktu untuk melihat dan mendengar potret perjalanan. Beberapa
diantaranya mungkin ada disekitar kita :
a.
Sebuah keluarga kecil Ayu dan
Budi telah beberapa tahun berumah tangga. Karena keberuntungan yang belum
berfihak mereka merasakan kesulitan. Merasa rejeki dirumah tidak cukup Budipun
mencoba keberuntungan dengan bekerja diluar daerah. Malangpun tak bisa
ditolaknya, sudah beberapa bulan ini Budipun tidak mengirimkan nafkah untuk
anak dan istrinya. Merasa terlantar Ayupun mencari penghasilan dengan caranya
sendiri. Pergi pagi hingga larut malam, Ayu belum juga pulang. Sungguh kasihan
anak-anak mereka. Ternyata Budi tidak sendiri, masih banyak Budi-Budi yang
lain, yang nasibnya tak jauh beda.
b.
Lain pula dengan Cici dan Dundit.
Dengan bekal keterampilan yang pas-pasan Dundit mencari nafkah sebagai kuli
bangunan di jalan. Yang kadang ada, dan seringkali mangganggur karena sepi order.
Mereka dikaruniai dua orang putera yang lagi senang-senangnya jajan dan
bermain. Untuk membeli beras saja mereka susah. Tak tahan memikul beban hidup, suatu ketika Cici berteriak histeris, dan
sekarang masih ‘lupa’ dengan dirinya sendiri. – para tetangga menyebutnya stess
---- dan akhirnya dirumahsakitkan dengan keluarganya.
Budi dan Dudit kalau boleh penulis menilai adalah potret
pribadi yang ‘kalah’ dalam mempertahankan hidup. Mungkin hal ini tidak akan
terjadi jika mereka mempunya bekal keterampilan yang cukup, atau untuk kita
yang sekarang ini sedang ‘berkuasa’ atau ‘mempunyai kekuasaan’ rela berbagi,
peduli, dengan teman-teman disekitar yang masih teramat sangat membutuhkan
bantuan. Cukup mengambil apa yang menjadi hak, memberikan apa yang menjadi hak
orang lain. Jika boleh berandai-andai, apabila ini berjalan maka tidak ada yang
merasa diperlakukan tidak adil. Hidup-pun terasa nyaman karena masing-masing
akan mendapat ‘keadilan’ menurut porsinya masing-masing.
Semoga saja kita tidak termasuk orang yang ‘miskin’atau
senang ‘ dimiskinkan’…………