Berhubung artikel ada sangat berhubungan dengan dunia pendidikan utamanya Sekolah Dasar, maka tak ada salahnya postingan hasil kopi Paste dari Blog tetangga kami posting disini, tentunya tetap mencantumkan sumber data dari mana diperoleh. Postingan Oleh Ali Ansori, SS, M.Pd. - Widyaiswara LPMP Prov. Kep. Bangka Belitung.
Matur Suwun
Sudah hampir 14 tahun pembelajaran Bahasa
Inggris berlangsung di Sekolah Dasar (SD) terhitung semenjak dicetuskan secara
resmi pada tahun 1994. Tentu selama masa kurun waktu tersebut telah banyak
kebijakan ataupun usaha yang muncul demi memuluskan program mercesuar untuk
menyonsong era globalisasi dimana komunikasi dengan bahasa Inggris merupakan sesuatu
yang tak bisa dihindari di hampir semua aspek kehidupan manusia. Diantara
kebijakan ataupun usaha tersebut adalah perubahan bahasa Inggris yang semula
sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan menjadi mata pelajaran muatan local
wajib di beberapa daerah, yang pertama hanya dilaksanakan di kelas-kelas atas
kemudian merambah ke kelas 1, 2, dan 3, pengalokasian dana khusus pada APBN dan
APBD untuk peningkatan kompetensi guru Bahasa Inggris SD melalui diklat-diklat
dan termasuk aneka ragam kegiatan mandiri sekolah dan masyarakat yang telah
banyak dilakukan. Artinya bahwa betapa banyak waktu, tenaga dan biaya yang
telah dikorbankan oleh masing-masing pihak yang terlibat demi mensukseskan
program ini. Kenyataannya kini semua harus gigit jari, karena belum lagi kita
memetik hasil penuh berupa hadirnya kecakapan anak-anak didik kita
berkomunikasi dengan Bahasa Inggris sejak mereka duduk di bangku SD, kini
muncul kebijakan baru pemerintah melalui kemendikbud untuk tidak memasukkan
Bahasa Inggris sebagai pelajaran yang diajarkan di SD.
Pada pembahasan kurikulum baru beberapa hari yang lalu secara eksplisit dikatakan bahwa mata pelajaran Bahasa Inggris akan dihapus dari jenjang SD, terutama kelas 1 hingga kelas 3. Menurut Wamendikbud bidang pendidikan Musliar Kasim, alasan utamanya adalah karena di tingkat sekolah paling dasar anak-anak membutuhkan pembelajaran Bahasa Indonesia yang belum tentu mereka lafazkan huruf-hurufnya dengan baik dan lagipula apa arti filosofis di belakangnya. Kebijakan penghapusan Bahasa Inggris ini akan menjadi wajib disekolah negeri. Bahkan sekolah yang berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang 80 persen proses pengajaran seluruh mata pelajarannya memakai Bahasa Inggris harus mengikuti kurikulum yang baru ini (Okezone, 10/10/2012).
Ini tentu merupakan sesuatu yang pahit kita rasakan, dimana ketika geliat semangat mulai meningkat, kuda-kuda telah terpasang, dan langkah-langkah baru siap diayunkan, tiba-tiba semua harus terhenti sebelum mencapai garis finish. Dimana suara orang-orang yang mengusulkan ide awal tersebut? Mengapa dibiarkan terhenti jika ia dianggap dapat memberi kontribusi dalam mencerdaskan anak bangsa? Sudahkah dianalisa secara dalam mengenai dampak yang akan muncul? Tulisan ini ingin menegaskan tentang pentingnya program tersebut untuk tetap dilaksanakan dengan mengajak semua pihak untuk flashback, memahami manfaat, dan memikirkan dampak terhadap penghentiannya.
Kita ketahui bahwa kebijakan tentang memasukkan pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar sesuai dengan kebijakan Depdikbud RI No. 0487/1992, Bab VIII, yang menyatakan bahwa sekolah dasar dapat menambah mata pelajaran dalam kurikulumnya, asalkan pelajaran itu tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Kemudian, kebijakan ini disusul oleh SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993 tentang dimungkinkannya program bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal SD, dan dapat dimulai pada kelas 4 SD (Depdiknas). Dasar Kebijakan tersebut adalah adanya kebutuhan keterampilan berbahasa Inggris untuk ikut berpartisipasi dalam era komunikasi dan globalisasi, serta untuk transfer ilmu, baik dalam bahasaInggris lisan (ceramah, diskusi, presentasi) atau tertulis (membaca referensi, menulis laporan, dan sebagainya). Jika itu yang menjadi tujuannya, maka dapat dikatakan bahwa penghentian program Bahasa Inggris SD yang telah disuarakan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang hendak mencetak para insan yang berpikir dan bersikap global. Bagaimana hendak menciptakan generasi yang punya daya saing global jika Bahasa Inggris sebagai alat komunikasi tidak diperkenalkan lebih awal.
Tentu sangat disayangkan langkah buru-buru yang diambil oleh pemerintah mengenai hal tersebut karena tidak ada dasar pemikiran yang jelas yang dijadikan acuan untuk itu. Jika persoalannya semata-mata karena bahasa Inggris dapat mengganggu perkembangan bahasa ibunya anak-anak yaitu Bahasa Indonesia, maka alasan yang diberikan sangat lemah sekali. Karena justru dengan mengenalkan bahasa Inggris kepada anak sejak dini akan membantu mereka memahami bahwa ada bahasa lain selain bahasa ibu. Disamping hal tersebut dapat mengembangkan fungsi kognitif mereka. Prof.Kasihani E. Suyanto, M.A, P.hD. dalam acara pengukuhan Guru Besarnya mengatakan bahwa anak usia 10 tahun (kelas 4 SD) sedang dalam proses berubah yang tadinya “egosentris” ke hubungan timbal balik atau “reciprocity” sehingga bila pengajaran bahasa asing dimulai lebih dini maka hal ini akan memicu keterampilan kognitif. Selain itu, tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa mempelajari bahasa asing dapat mempengaruhi akuisisi bahasa ibu anak saat mereka sudah menguasai bahasa itu. Siswa kelas 4 SD bisa dikategorikan pada kelompok anak yang sudah menguasai bahasa Indonesia dengan baik karena mereka sudah bisa berbicara, mendengar, membaca, dan menulis. Artinya, ketika di saat bersamaan mereka juga harus belajar bahasa Inggris, maka itu tidak akan mempengaruhi penguasaan bahasa Indonesia mereka.
Dari sisi neuro physiology, ada studi tentang perberkembangan kemampuan otak secara aplikatif, disebutkan bahwa pada tahun ke sembilan sampai tahun ke dua belas seorang anak mampu memfokuskan dalam belajar berbicara, A Specialist in learning to speak, oleh karena itu ketika seorang anak telah mencapai umur sekian akan mampu belajar dua atau tiga bahasa sekaligus secara baik. Selain itu, sebuah penelitian lain menegaskan bahwa anak ketika belajar lebih dari satu bahasa pada masa dini, kemampuannya dalam menyerap bahasa lebih baik dari pada di usia dewasa.
Apalagi jika persoalannya hanya mengenai keberadaan Bahasa Inggris yang diasumsikan dapat menghilangkan rasa nasionalisme anak-anak. Menurut hemat penulis, masalah nasionalisme merupakan masalah character building, jauh dari permasalahan akibat belajar bahasa asing dalam hal ini bahasa Inggris. Terlalu sempit sudut pandang kita jika menjadikan hal tersebut sebuah alasan agar pembelajaran bahasa Inggris tak perlu digalakkan sejak SD. Asumsi demikian hanyalah berupa sentimen primordial terhadap budaya barat yang mungkin konatasinya selalu keburukan karakter masyarakatnya, yang juga belum tentu benar adanya. Bagaimana dengan pembelajaran bahasa Arab? Sama sekali tidak pernah dipermasalahkan karena yang dimunculkan adalah stigma kebaikan, bahwa bahasa Arab adalah bahasa agama. Padahal kenyataannya ia dipakai bukan untuk agama an sich. Kita mesti berpikir pair bahwa bahasa hanyalah sebuah alat komunikasi, tidak akan pernah melunturkan nilai-nilai apapun, termasuk nasionalisme. Daripada itu ketika di satu sisi pembelajaran bahasa Inggris harus digalakkan, di sisi lain rasa kebanggaan terhadap bahasa Indonesia dan nasionalisme harus dikuatkan melalui kegiatan-kegiatan character building.
Namun yang kita kawatirkan disini adalah jika penghentian program ini hanya merupakan cuci tangan pemerintah untuk menutupi “aib” terhadap pembelajaran bahasa di SD yang selama ini berjalan tanpa arah yang pasti. Kita ketahui bahwa pendidikan bahasa Inggris di sekolah dasar sangat miskin. Status subjek hanya subjek lokal. Ini tidak termasuk dalam mata pelajaran nasional, subyek penting. Bahasa Inggris di sekolah dasar tidak memiliki kurikulum yang jelas dan silabus. Dan itu diajarkan oleh inkompetensi dan guru wajar tanpa pengecualian. Guru tidak memiliki sertifikat kelulusan bahasa Inggris. Jelasnya, pembelajaran bahasa Inggris sejauh ini tidak mencapai output yang optimal.
Jika demikian maksud dari kemunculan kebijakan yang baru ini, maka hal ini merupakan pengabaian dari banyaknya manfaat yang sebenarnya bisa dipetik dari pelaksanaan program tersebut. Menurut I Made Sukamerta dalam penelitian tesisnya tentang implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris pada sekolah dasar di kota Denpasar, bahwa makna implementasi kebijakan pengajaran bahasa Inggris sejak SD akan bermanfaat bagi siswa dalam menempuh pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Di samping itu pula, kebijakan pengajaran bahasa Inggris SD berarti telah memenuhi tuntutan era globalisasi dan kemajuan dunia dalam berbagai aspek kehidupan. Bisa dibayangkan jika pemerintah kembali kepada kebijakan dimana pembelajaran bahasa Inggris baru dimulai di bangku SMP, maka artinya anak-anak akan kehilangan exposure untuk belajar bahasa asing tersebut hampir selama 3 tahun. Sungguh sangat disayangkan. Padahal, seperti yang dikatakan oleh Prof. Kasihani E. Suyanto, M.A, P.hD, meskipun semua lulusan SMU/SMK/MA telah belajar bahasa Inggris selama 6 tahun. Kenyataan menunjukkan bahwa setelah 6 tahun belajar bahasa Inggris, lulusan belum dapat memanfaatkan keterampilan berbahasa Inggrisnya pada waktu mereka belajar di perguruan tinggi. Itulah kenapa program tersebut harus dimulai lebih dini, minimal dari kelas empat SD, sehingga jangka waktu belajar bahasa asing ini menjadi lebih lama bagi anak-anak.
Selain mengenai beberapa permasalahan diatas, penghentian program pembelajaran bahasa Inggris di SD bisa memberikan banyak dampak negatif, antara lain: Pertama, memunculkan stigma buruk dari masyarakat bahwa pemerintah tidak konsisten dengan kebijakannya sendiri, ganti menteri ganti kurikulum. Selain pemerintah seakan tidak memberikan kesempatan buat anak untuk mengembangkan diri sejak dini dalam penguasaan bahasa asing. Kedua, mengkerdilkan bahasa Inggris di mata orang tua siswa dan siswa itu sendiri. Persepsi yang sudah terbentuk di masyarakat bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang sangat penting untuk dikuasai. Orangtua siswa sangat mendukung pemberian pelajaran bahasa Inggris sejak awal. Bahkan harapan orangtua pada umumnya adalah supaya pemberian pelajaran bahasa Inggris diberikan bukan dari kelas empat, melainkan dari kelas satu. Jika program tersebut terhenti, tentu akan meresahkan mereka. Ketiga, sedikit banyak mengganggu program sekolah yang sudah berupaya melaksanakan berbagai macam penguatan berkaitan dengan pembelajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal wajib di sekolah. Keempat, melemahkan peran dan fungsi LPTK-LPTK yang sudah menjalankan program-program tertentu, misalnya penyiapan program bahasa Inggris untuk anak-anak secara khusus pada program studi bahasa Inggris mereka dan mengganggu pelaksanaan kerjasama mereka dalam penyediaan tenaga pengajar bahasa Inggris bagi SD yang selama ini berlangsung. Terakhir, merugikan lembaga-lembaga kursus bahasa Inggris yang sejauh ini telah banyak membantu masyarakat dalam mengembangkan kecakapan berbahasa Inggris. Ketika animo orang tua turun terhadap kepentingan pembelajaran bahasa Inggris buat putra-putri mereka, maka bisa mengkecilkan pangsa pasar lembaga-lembaga tersebut yang sejauh ini banyak diisi oleh para siswa PAUD dan SD.
Kita berharap bahwa pendidikan bahasa Inggris di Indonesia khususnya di sekolah dasar tetap dipertahankan karena banyak memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Penulis tetap berpikir bahwa penguasaan bahasa Inggris harus dicapai lebih awal. Ini akan sangat terlambat jika bahasa Inggris diperkenalkan di SMP. Namun, kita harus berbenah, tidak mengulangi langkah keliru ketika pertama kali kebijakan tentang pendidikan bahasa Inggris di sekolah dasar ini diluncurkan. Semua harus disiapkan secara matang, sehingga tidak asal-asalan.
Meskipun akhirnya kebijakan pemerintah sudah bulat untuk tidak memasukkan Bahasa Inggris pada kurikulum mendatang, maka sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh anggota komite III DPD , agar pemerintah tetap membuat alternatif lain supaya siswa tetap dapat menguasai Bahasa Inggris karena sifatnya sudah menjadi bahasa pergaulan internasional (Okezone, 10/10/2012). Jika tidak demikian, penguasaan bahasa Inggris masyarakat kita akan lemah, sehingga tidak mampu memegang kendali dalam komunikasi global dan bangsa kita pun semakin tertinggal.
*) Artikel ini dikirim oleh penulis ke SekolahDasar.Net
Sumber: http://www.sekolahdasar.net/2012/10/artikel-tidak-ada-lagi-bahasa-inggris-sd.html#ixzz2AUxCOxGq
Pada pembahasan kurikulum baru beberapa hari yang lalu secara eksplisit dikatakan bahwa mata pelajaran Bahasa Inggris akan dihapus dari jenjang SD, terutama kelas 1 hingga kelas 3. Menurut Wamendikbud bidang pendidikan Musliar Kasim, alasan utamanya adalah karena di tingkat sekolah paling dasar anak-anak membutuhkan pembelajaran Bahasa Indonesia yang belum tentu mereka lafazkan huruf-hurufnya dengan baik dan lagipula apa arti filosofis di belakangnya. Kebijakan penghapusan Bahasa Inggris ini akan menjadi wajib disekolah negeri. Bahkan sekolah yang berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang 80 persen proses pengajaran seluruh mata pelajarannya memakai Bahasa Inggris harus mengikuti kurikulum yang baru ini (Okezone, 10/10/2012).
Ini tentu merupakan sesuatu yang pahit kita rasakan, dimana ketika geliat semangat mulai meningkat, kuda-kuda telah terpasang, dan langkah-langkah baru siap diayunkan, tiba-tiba semua harus terhenti sebelum mencapai garis finish. Dimana suara orang-orang yang mengusulkan ide awal tersebut? Mengapa dibiarkan terhenti jika ia dianggap dapat memberi kontribusi dalam mencerdaskan anak bangsa? Sudahkah dianalisa secara dalam mengenai dampak yang akan muncul? Tulisan ini ingin menegaskan tentang pentingnya program tersebut untuk tetap dilaksanakan dengan mengajak semua pihak untuk flashback, memahami manfaat, dan memikirkan dampak terhadap penghentiannya.
Kita ketahui bahwa kebijakan tentang memasukkan pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar sesuai dengan kebijakan Depdikbud RI No. 0487/1992, Bab VIII, yang menyatakan bahwa sekolah dasar dapat menambah mata pelajaran dalam kurikulumnya, asalkan pelajaran itu tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Kemudian, kebijakan ini disusul oleh SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993 tentang dimungkinkannya program bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal SD, dan dapat dimulai pada kelas 4 SD (Depdiknas). Dasar Kebijakan tersebut adalah adanya kebutuhan keterampilan berbahasa Inggris untuk ikut berpartisipasi dalam era komunikasi dan globalisasi, serta untuk transfer ilmu, baik dalam bahasaInggris lisan (ceramah, diskusi, presentasi) atau tertulis (membaca referensi, menulis laporan, dan sebagainya). Jika itu yang menjadi tujuannya, maka dapat dikatakan bahwa penghentian program Bahasa Inggris SD yang telah disuarakan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang hendak mencetak para insan yang berpikir dan bersikap global. Bagaimana hendak menciptakan generasi yang punya daya saing global jika Bahasa Inggris sebagai alat komunikasi tidak diperkenalkan lebih awal.
Tentu sangat disayangkan langkah buru-buru yang diambil oleh pemerintah mengenai hal tersebut karena tidak ada dasar pemikiran yang jelas yang dijadikan acuan untuk itu. Jika persoalannya semata-mata karena bahasa Inggris dapat mengganggu perkembangan bahasa ibunya anak-anak yaitu Bahasa Indonesia, maka alasan yang diberikan sangat lemah sekali. Karena justru dengan mengenalkan bahasa Inggris kepada anak sejak dini akan membantu mereka memahami bahwa ada bahasa lain selain bahasa ibu. Disamping hal tersebut dapat mengembangkan fungsi kognitif mereka. Prof.Kasihani E. Suyanto, M.A, P.hD. dalam acara pengukuhan Guru Besarnya mengatakan bahwa anak usia 10 tahun (kelas 4 SD) sedang dalam proses berubah yang tadinya “egosentris” ke hubungan timbal balik atau “reciprocity” sehingga bila pengajaran bahasa asing dimulai lebih dini maka hal ini akan memicu keterampilan kognitif. Selain itu, tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa mempelajari bahasa asing dapat mempengaruhi akuisisi bahasa ibu anak saat mereka sudah menguasai bahasa itu. Siswa kelas 4 SD bisa dikategorikan pada kelompok anak yang sudah menguasai bahasa Indonesia dengan baik karena mereka sudah bisa berbicara, mendengar, membaca, dan menulis. Artinya, ketika di saat bersamaan mereka juga harus belajar bahasa Inggris, maka itu tidak akan mempengaruhi penguasaan bahasa Indonesia mereka.
Dari sisi neuro physiology, ada studi tentang perberkembangan kemampuan otak secara aplikatif, disebutkan bahwa pada tahun ke sembilan sampai tahun ke dua belas seorang anak mampu memfokuskan dalam belajar berbicara, A Specialist in learning to speak, oleh karena itu ketika seorang anak telah mencapai umur sekian akan mampu belajar dua atau tiga bahasa sekaligus secara baik. Selain itu, sebuah penelitian lain menegaskan bahwa anak ketika belajar lebih dari satu bahasa pada masa dini, kemampuannya dalam menyerap bahasa lebih baik dari pada di usia dewasa.
Apalagi jika persoalannya hanya mengenai keberadaan Bahasa Inggris yang diasumsikan dapat menghilangkan rasa nasionalisme anak-anak. Menurut hemat penulis, masalah nasionalisme merupakan masalah character building, jauh dari permasalahan akibat belajar bahasa asing dalam hal ini bahasa Inggris. Terlalu sempit sudut pandang kita jika menjadikan hal tersebut sebuah alasan agar pembelajaran bahasa Inggris tak perlu digalakkan sejak SD. Asumsi demikian hanyalah berupa sentimen primordial terhadap budaya barat yang mungkin konatasinya selalu keburukan karakter masyarakatnya, yang juga belum tentu benar adanya. Bagaimana dengan pembelajaran bahasa Arab? Sama sekali tidak pernah dipermasalahkan karena yang dimunculkan adalah stigma kebaikan, bahwa bahasa Arab adalah bahasa agama. Padahal kenyataannya ia dipakai bukan untuk agama an sich. Kita mesti berpikir pair bahwa bahasa hanyalah sebuah alat komunikasi, tidak akan pernah melunturkan nilai-nilai apapun, termasuk nasionalisme. Daripada itu ketika di satu sisi pembelajaran bahasa Inggris harus digalakkan, di sisi lain rasa kebanggaan terhadap bahasa Indonesia dan nasionalisme harus dikuatkan melalui kegiatan-kegiatan character building.
Namun yang kita kawatirkan disini adalah jika penghentian program ini hanya merupakan cuci tangan pemerintah untuk menutupi “aib” terhadap pembelajaran bahasa di SD yang selama ini berjalan tanpa arah yang pasti. Kita ketahui bahwa pendidikan bahasa Inggris di sekolah dasar sangat miskin. Status subjek hanya subjek lokal. Ini tidak termasuk dalam mata pelajaran nasional, subyek penting. Bahasa Inggris di sekolah dasar tidak memiliki kurikulum yang jelas dan silabus. Dan itu diajarkan oleh inkompetensi dan guru wajar tanpa pengecualian. Guru tidak memiliki sertifikat kelulusan bahasa Inggris. Jelasnya, pembelajaran bahasa Inggris sejauh ini tidak mencapai output yang optimal.
Jika demikian maksud dari kemunculan kebijakan yang baru ini, maka hal ini merupakan pengabaian dari banyaknya manfaat yang sebenarnya bisa dipetik dari pelaksanaan program tersebut. Menurut I Made Sukamerta dalam penelitian tesisnya tentang implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris pada sekolah dasar di kota Denpasar, bahwa makna implementasi kebijakan pengajaran bahasa Inggris sejak SD akan bermanfaat bagi siswa dalam menempuh pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Di samping itu pula, kebijakan pengajaran bahasa Inggris SD berarti telah memenuhi tuntutan era globalisasi dan kemajuan dunia dalam berbagai aspek kehidupan. Bisa dibayangkan jika pemerintah kembali kepada kebijakan dimana pembelajaran bahasa Inggris baru dimulai di bangku SMP, maka artinya anak-anak akan kehilangan exposure untuk belajar bahasa asing tersebut hampir selama 3 tahun. Sungguh sangat disayangkan. Padahal, seperti yang dikatakan oleh Prof. Kasihani E. Suyanto, M.A, P.hD, meskipun semua lulusan SMU/SMK/MA telah belajar bahasa Inggris selama 6 tahun. Kenyataan menunjukkan bahwa setelah 6 tahun belajar bahasa Inggris, lulusan belum dapat memanfaatkan keterampilan berbahasa Inggrisnya pada waktu mereka belajar di perguruan tinggi. Itulah kenapa program tersebut harus dimulai lebih dini, minimal dari kelas empat SD, sehingga jangka waktu belajar bahasa asing ini menjadi lebih lama bagi anak-anak.
Selain mengenai beberapa permasalahan diatas, penghentian program pembelajaran bahasa Inggris di SD bisa memberikan banyak dampak negatif, antara lain: Pertama, memunculkan stigma buruk dari masyarakat bahwa pemerintah tidak konsisten dengan kebijakannya sendiri, ganti menteri ganti kurikulum. Selain pemerintah seakan tidak memberikan kesempatan buat anak untuk mengembangkan diri sejak dini dalam penguasaan bahasa asing. Kedua, mengkerdilkan bahasa Inggris di mata orang tua siswa dan siswa itu sendiri. Persepsi yang sudah terbentuk di masyarakat bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang sangat penting untuk dikuasai. Orangtua siswa sangat mendukung pemberian pelajaran bahasa Inggris sejak awal. Bahkan harapan orangtua pada umumnya adalah supaya pemberian pelajaran bahasa Inggris diberikan bukan dari kelas empat, melainkan dari kelas satu. Jika program tersebut terhenti, tentu akan meresahkan mereka. Ketiga, sedikit banyak mengganggu program sekolah yang sudah berupaya melaksanakan berbagai macam penguatan berkaitan dengan pembelajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal wajib di sekolah. Keempat, melemahkan peran dan fungsi LPTK-LPTK yang sudah menjalankan program-program tertentu, misalnya penyiapan program bahasa Inggris untuk anak-anak secara khusus pada program studi bahasa Inggris mereka dan mengganggu pelaksanaan kerjasama mereka dalam penyediaan tenaga pengajar bahasa Inggris bagi SD yang selama ini berlangsung. Terakhir, merugikan lembaga-lembaga kursus bahasa Inggris yang sejauh ini telah banyak membantu masyarakat dalam mengembangkan kecakapan berbahasa Inggris. Ketika animo orang tua turun terhadap kepentingan pembelajaran bahasa Inggris buat putra-putri mereka, maka bisa mengkecilkan pangsa pasar lembaga-lembaga tersebut yang sejauh ini banyak diisi oleh para siswa PAUD dan SD.
Kita berharap bahwa pendidikan bahasa Inggris di Indonesia khususnya di sekolah dasar tetap dipertahankan karena banyak memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Penulis tetap berpikir bahwa penguasaan bahasa Inggris harus dicapai lebih awal. Ini akan sangat terlambat jika bahasa Inggris diperkenalkan di SMP. Namun, kita harus berbenah, tidak mengulangi langkah keliru ketika pertama kali kebijakan tentang pendidikan bahasa Inggris di sekolah dasar ini diluncurkan. Semua harus disiapkan secara matang, sehingga tidak asal-asalan.
Meskipun akhirnya kebijakan pemerintah sudah bulat untuk tidak memasukkan Bahasa Inggris pada kurikulum mendatang, maka sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh anggota komite III DPD , agar pemerintah tetap membuat alternatif lain supaya siswa tetap dapat menguasai Bahasa Inggris karena sifatnya sudah menjadi bahasa pergaulan internasional (Okezone, 10/10/2012). Jika tidak demikian, penguasaan bahasa Inggris masyarakat kita akan lemah, sehingga tidak mampu memegang kendali dalam komunikasi global dan bangsa kita pun semakin tertinggal.
*) Artikel ini dikirim oleh penulis ke SekolahDasar.Net
Sumber: http://www.sekolahdasar.net/2012/10/artikel-tidak-ada-lagi-bahasa-inggris-sd.html#ixzz2AUxCOxGq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar