Minggu, 28 Oktober 2012

NAFAS SUMPAH PEMUDA MASIHKAN ADA?

KONGGRES PEMUDA (Tempo.CO.)

Hari ini Minggu, 28 Oktober 2012, adalah Hari Sumpah Pemuda. Pada 84 tahun silam Para pemuda kita berkumpul, menyatakan tekadnya bersatu, menjadi bangsa yang satu, Bangsa Indonesia yang merdeka. Kala itu Konggres yang diketuai Sugondo Djoyopuspito menyamakan visi dan misi pemuda untukIndonesia yang satu. Lagu Indonesia, Bahasa Indonesia, serta tanah air yang satu, tanah Indonesia.
                               
Delapan dasawarsa bukanlah waktu yang pendek, semangat nafas konggres pemuda pun sedikit demi sedikit terkikis oleh jaman. Bahkan hari inipun diantara kita sama sekali tidak  terlintas moment sumpah pemuda ini. Tak ada yang salah dan yang perlu disalahkan. Akan tetapi jika para pemuda waktu itu jika masih hidup sampai sekarang mungkin mereka akan menangis sejadi-jadinya melihat, dan mendengar apa yang dilakukan generasinya yang tak peduli lagi dengan semangat kebangsaan.

Sedikit mengenang tokoh pemuda pada konggres pemuda II ( seperti dikutip dari TEMPO.CO hari ini )  bebarapa pemuda yang berperan besar diantaranya :

 1.      W.R. Supratman
Menciptakan lagu Indonesia Raya. Yang gaungkan untuk pertama kalinya pada konggres Pemuda II , walaupuin dalam tekanan Politieke Inlichtingen Dienst  yang mengintai konggres. 
Wage Rudolf Supratman ini meninggal pada 17 Agustus 1938 pada usia sekitar 35 tahun, akibat kesehatannta yang menurun setelah diinterograsi Politieke Inlichtingen Dienst.

2.      Amir Sjarifoeddin Harahap.
Lahir di Medan 27 April 1907, menempuh bangku sekolah dasardimedan kemudian melanjutykan sekolahnya di Leiden Belanda, kembalinya ketanah air melanjutkan Pendidikan di sekolah Hukum di Jakarta berasrtama di Clubgebouw, jalan kramat Raya 106 Jakarta Pusat.
Pada konggres Pemuda II, Amir datang sebagai wakil dari Jong Bataks Bond, dan berperan sebagai bendahara.
Kehidupan politik Amir tak berhenti di Kongres Pemuda II. Pada 1938, ia juga terlibat di Kongres Bahasa. Dan ketika Jepang datang, Amir memilih beroposisi. Ia memimpin gerakan bawah tanah yang dibiayai Van der Plass Karena sikap politiknya itu, Jepang membekuk Amir. Ia pun dijatuhi hukuman mati pada Januari 1943. Untung, berkat campur tangan Soekarno dan Hatta, hukuman itu tak terlaksana
                                                                      
3.      Mohammad Hatta
bersekolah di Sekolah Dagang Rotterdam, atau Rotterdamse Handelshogeschool. Pada 1921 Hatta bergabung dengan organisasi Indische yang kemudian berubah menjadi Indonesische Vereniging. Seperti dikutip Majalah Tempo, Hatta ke Belanda dan bertemu seniornya Nazir Pamuntjak. Ketika itu Nazir baru lulus ujian negara untuk mata kuliah bahasa Yunani dan Latin, dan menjadi mahasiswa di fakultas Hukum di Leiden. Hatta memimpin organisasi Indonesische Vereniging periode 1926-1930, periode terlama karena sebelumnya setiap ketua hanya menjabat setahun sekali. Ada empat pokok perjuangan yang melandasi mereka: persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan swadaya.
Demi Indonesia mereka semua berkorban, berjuang, bangga dengan bangsanya.
Sedikit mengenang, dan jika kita korelasikan dengan keadaan sekarang, apa yang musti kita banggakan?
a.      Cukupkah kita bangga dengan kegiatan ‘nyangkruk’ , ngopi, dengan penjual yang kemayu?
b.      Mungkin kita akan dengan bangga ketika bercerita habis menekik si Miras sekian botol dengan ditunggui ‘peka’ yang menggoda?
c.       Barangkali kita juga ‘dipaksa’ untuk bangga melihat para pemuda (pejabat?)  yang dengan lihainya menyembunyikan uang rakyat untuk pribadinya.
d.      Bahkan kita juga musti berbangga hati dan rela ketika mengetahui para penegak hukum di negeri ini yang saling tuntut untuk mencari kemenangan yang sebenarnya sama sekali tidak perlu. (sama-sama orangnya Negara kok minta ganti rugi yang berasal dari uang Negara juga, lucu to?)
Rupanya nafas kebangsaan kita semakin parau, kecil, tersengal-sengal. kemerdekaan Indonesia masih jauh, kita terlalu sibuk dengan diri sendiri, sementara  bangsa lain masuk mencari keuntungan dengan ‘ menjajah’ kita dengan hasil industrinya. Jika sekarang kita bangga memakai merk luiar negeri, mungkin  anak-anak kita akan lebih bangga dengan mengakui diri sebagai warga Negara lain. Jika ini terjadi akan kemanakah INDONESIA???

Sabtu, 27 Oktober 2012

TIDAK ADA LAGI BAHASA INGGRIS SD DI KURIKULUM 2013?





Berhubung artikel ada sangat berhubungan dengan dunia pendidikan utamanya Sekolah Dasar, maka tak ada salahnya postingan hasil kopi Paste dari Blog tetangga kami posting disini, tentunya tetap mencantumkan sumber data dari mana diperoleh. Postingan Oleh Ali Ansori, SS, M.Pd. - Widyaiswara LPMP Prov. Kep. Bangka Belitung.
Matur Suwun



Sudah hampir 14 tahun pembelajaran Bahasa Inggris berlangsung di Sekolah Dasar (SD) terhitung semenjak dicetuskan secara resmi pada tahun 1994. Tentu selama masa kurun waktu tersebut telah banyak kebijakan ataupun usaha yang muncul demi memuluskan program mercesuar untuk menyonsong era globalisasi dimana komunikasi dengan bahasa Inggris merupakan sesuatu yang tak bisa dihindari di hampir semua aspek kehidupan manusia. Diantara kebijakan ataupun usaha tersebut adalah perubahan bahasa Inggris yang semula sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan menjadi mata pelajaran muatan local wajib di beberapa daerah, yang pertama hanya dilaksanakan di kelas-kelas atas kemudian merambah ke kelas 1, 2, dan 3, pengalokasian dana khusus pada APBN dan APBD untuk peningkatan kompetensi guru Bahasa Inggris SD melalui diklat-diklat dan termasuk aneka ragam kegiatan mandiri sekolah dan masyarakat yang telah banyak dilakukan. Artinya bahwa betapa banyak waktu, tenaga dan biaya yang telah dikorbankan oleh masing-masing pihak yang terlibat demi mensukseskan program ini. Kenyataannya kini semua harus gigit jari, karena belum lagi kita memetik hasil penuh berupa hadirnya kecakapan anak-anak didik kita berkomunikasi dengan Bahasa Inggris sejak mereka duduk di bangku SD, kini muncul kebijakan baru pemerintah melalui kemendikbud untuk tidak memasukkan Bahasa Inggris sebagai pelajaran yang diajarkan di SD. 

Pada pembahasan kurikulum baru beberapa hari yang lalu secara eksplisit dikatakan bahwa mata pelajaran 
Bahasa Inggris akan dihapus dari jenjang SD, terutama kelas 1 hingga kelas 3. Menurut Wamendikbud bidang pendidikan Musliar Kasim, alasan utamanya adalah karena di tingkat sekolah paling dasar anak-anak membutuhkan pembelajaran Bahasa Indonesia yang belum tentu mereka lafazkan huruf-hurufnya dengan baik dan lagipula apa arti filosofis di belakangnya. Kebijakan penghapusan Bahasa Inggris ini akan menjadi wajib disekolah negeri. Bahkan sekolah yang berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang 80 persen proses pengajaran seluruh mata pelajarannya memakai Bahasa Inggris harus mengikuti kurikulum yang baru ini (Okezone, 10/10/2012).

Ini tentu merupakan sesuatu yang pahit kita rasakan, dimana ketika geliat semangat mulai meningkat, kuda-kuda telah terpasang, dan langkah-langkah baru siap diayunkan, tiba-tiba semua harus terhenti sebelum mencapai garis finish. Dimana suara orang-orang yang mengusulkan ide awal tersebut? Mengapa dibiarkan terhenti jika ia dianggap dapat memberi kontribusi dalam mencerdaskan anak bangsa? Sudahkah dianalisa secara dalam mengenai dampak yang akan muncul? Tulisan ini ingin menegaskan tentang pentingnya program tersebut untuk tetap dilaksanakan dengan mengajak semua pihak untuk flashback, memahami manfaat, dan memikirkan dampak terhadap penghentiannya. 

Kita ketahui bahwa kebijakan tentang memasukkan pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar sesuai dengan kebijakan Depdikbud RI No. 0487/1992, Bab VIII, yang menyatakan bahwa sekolah dasar dapat menambah mata pelajaran dalam kurikulumnya, asalkan pelajaran itu tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Kemudian, kebijakan ini disusul oleh SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993 tentang dimungkinkannya program bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal SD, dan dapat dimulai pada kelas 4 SD (Depdiknas). Dasar Kebijakan tersebut adalah adanya kebutuhan keterampilan berbahasa Inggris untuk ikut berpartisipasi dalam era komunikasi dan globalisasi, serta untuk transfer ilmu, baik dalam bahasaInggris lisan (ceramah, diskusi, presentasi) atau tertulis (membaca referensi, menulis laporan, dan sebagainya). Jika itu yang menjadi tujuannya, maka dapat dikatakan bahwa penghentian program Bahasa Inggris SD yang telah disuarakan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang hendak mencetak para insan yang berpikir dan bersikap global. Bagaimana hendak menciptakan generasi yang punya daya saing global jika Bahasa Inggris sebagai alat komunikasi tidak diperkenalkan lebih awal.

Tentu sangat disayangkan langkah buru-buru yang diambil oleh pemerintah mengenai hal tersebut karena tidak ada dasar pemikiran yang jelas yang dijadikan acuan untuk itu. Jika persoalannya semata-mata karena bahasa Inggris dapat mengganggu perkembangan bahasa ibunya anak-anak yaitu Bahasa Indonesia, maka alasan yang diberikan sangat lemah sekali. Karena justru dengan mengenalkan bahasa Inggris kepada anak sejak dini akan membantu mereka memahami bahwa ada bahasa lain selain bahasa ibu. Disamping hal tersebut dapat mengembangkan fungsi kognitif mereka. Prof.Kasihani E. Suyanto, M.A, P.hD. dalam acara pengukuhan Guru Besarnya mengatakan bahwa anak usia 10 tahun (kelas 4 SD) sedang dalam proses berubah yang tadinya “egosentris” ke hubungan timbal balik atau “reciprocity” sehingga bila pengajaran bahasa asing dimulai lebih dini maka hal ini akan memicu keterampilan kognitif. Selain itu, tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa mempelajari bahasa asing dapat mempengaruhi akuisisi bahasa ibu anak saat mereka sudah menguasai bahasa itu. Siswa kelas 4 SD bisa dikategorikan pada kelompok anak yang sudah menguasai bahasa Indonesia dengan baik karena mereka sudah bisa berbicara, mendengar, membaca, dan menulis. Artinya, ketika di saat bersamaan mereka juga harus belajar bahasa Inggris, maka itu tidak akan mempengaruhi penguasaan bahasa Indonesia mereka. 

Dari sisi neuro physiology, ada studi tentang perberkembangan kemampuan otak secara aplikatif, disebutkan bahwa pada tahun ke sembilan sampai tahun ke dua belas seorang anak mampu memfokuskan dalam belajar berbicara, A Specialist in learning to speak, oleh karena itu ketika seorang anak telah mencapai umur sekian akan mampu belajar dua atau tiga bahasa sekaligus secara baik. Selain itu, sebuah penelitian lain menegaskan bahwa anak ketika belajar lebih dari satu bahasa pada masa dini, kemampuannya dalam menyerap bahasa lebih baik dari pada di usia dewasa. 

Apalagi jika persoalannya hanya mengenai keberadaan Bahasa Inggris yang diasumsikan dapat menghilangkan rasa nasionalisme anak-anak. Menurut hemat penulis, masalah nasionalisme merupakan masalah character building, jauh dari permasalahan akibat belajar bahasa asing dalam hal ini bahasa Inggris. Terlalu sempit sudut pandang kita jika menjadikan hal tersebut sebuah alasan agar pembelajaran bahasa Inggris tak perlu digalakkan sejak SD. Asumsi demikian hanyalah berupa sentimen primordial terhadap budaya barat yang mungkin konatasinya selalu keburukan karakter masyarakatnya, yang juga belum tentu benar adanya. Bagaimana dengan pembelajaran bahasa Arab? Sama sekali tidak pernah dipermasalahkan karena yang dimunculkan adalah stigma kebaikan, bahwa bahasa Arab adalah bahasa agama. Padahal kenyataannya ia dipakai bukan untuk agama an sich. Kita mesti berpikir pair bahwa bahasa hanyalah sebuah alat komunikasi, tidak akan pernah melunturkan nilai-nilai apapun, termasuk nasionalisme. Daripada itu ketika di satu sisi pembelajaran bahasa Inggris harus digalakkan, di sisi lain rasa kebanggaan terhadap bahasa Indonesia dan nasionalisme harus dikuatkan melalui kegiatan-kegiatan character building.

Namun yang kita kawatirkan disini adalah jika penghentian program ini hanya merupakan cuci tangan pemerintah untuk menutupi “aib” terhadap pembelajaran bahasa di SD yang selama ini berjalan tanpa arah yang pasti. Kita ketahui bahwa pendidikan bahasa Inggris di sekolah dasar sangat miskin. Status subjek hanya subjek lokal. Ini tidak termasuk dalam mata pelajaran nasional, subyek penting. Bahasa Inggris di sekolah dasar tidak memiliki kurikulum yang jelas dan silabus. Dan itu diajarkan oleh inkompetensi dan guru wajar tanpa pengecualian. Guru tidak memiliki sertifikat kelulusan bahasa Inggris. Jelasnya, pembelajaran bahasa Inggris sejauh ini tidak mencapai output yang optimal. 

Jika demikian maksud dari kemunculan kebijakan yang baru ini, maka hal ini merupakan pengabaian dari banyaknya manfaat yang sebenarnya bisa dipetik dari pelaksanaan program tersebut. Menurut I Made Sukamerta dalam penelitian tesisnya tentang implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris pada sekolah dasar di kota Denpasar, bahwa makna implementasi kebijakan pengajaran bahasa Inggris sejak SD akan bermanfaat bagi siswa dalam menempuh pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Di samping itu pula, kebijakan pengajaran bahasa Inggris SD berarti telah memenuhi tuntutan era globalisasi dan kemajuan dunia dalam berbagai aspek kehidupan. Bisa dibayangkan jika pemerintah kembali kepada kebijakan dimana pembelajaran bahasa Inggris baru dimulai di bangku SMP, maka artinya anak-anak akan kehilangan exposure untuk belajar bahasa asing tersebut hampir selama 3 tahun. Sungguh sangat disayangkan. Padahal, seperti yang dikatakan oleh Prof. Kasihani E. Suyanto, M.A, P.hD, meskipun semua lulusan SMU/SMK/MA telah belajar bahasa Inggris selama 6 tahun. Kenyataan menunjukkan bahwa setelah 6 tahun belajar bahasa Inggris, lulusan belum dapat memanfaatkan keterampilan berbahasa Inggrisnya pada waktu mereka belajar di perguruan tinggi. Itulah kenapa program tersebut harus dimulai lebih dini, minimal dari kelas empat SD, sehingga jangka waktu belajar bahasa asing ini menjadi lebih lama bagi anak-anak.

Selain mengenai beberapa permasalahan diatas, penghentian program pembelajaran bahasa Inggris di SD bisa memberikan banyak dampak negatif, antara lain: Pertama, memunculkan stigma buruk dari masyarakat bahwa pemerintah tidak konsisten dengan kebijakannya sendiri, ganti menteri ganti kurikulum. Selain pemerintah seakan tidak memberikan kesempatan buat anak untuk mengembangkan diri sejak dini dalam penguasaan bahasa asing. Kedua, mengkerdilkan bahasa Inggris di mata orang tua siswa dan siswa itu sendiri. Persepsi yang sudah terbentuk di masyarakat bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang sangat penting untuk dikuasai. Orangtua siswa sangat mendukung pemberian pelajaran bahasa Inggris sejak awal. Bahkan harapan orangtua pada umumnya adalah supaya pemberian pelajaran bahasa Inggris diberikan bukan dari kelas empat, melainkan dari kelas satu. Jika program tersebut terhenti, tentu akan meresahkan mereka. Ketiga, sedikit banyak mengganggu program sekolah yang sudah berupaya melaksanakan berbagai macam penguatan berkaitan dengan pembelajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal wajib di sekolah. Keempat, melemahkan peran dan fungsi LPTK-LPTK yang sudah menjalankan program-program tertentu, misalnya penyiapan program bahasa Inggris untuk anak-anak secara khusus pada program studi bahasa Inggris mereka dan mengganggu pelaksanaan kerjasama mereka dalam penyediaan tenaga pengajar bahasa Inggris bagi SD yang selama ini berlangsung. Terakhir, merugikan lembaga-lembaga kursus bahasa Inggris yang sejauh ini telah banyak membantu masyarakat dalam mengembangkan kecakapan berbahasa Inggris. Ketika animo orang tua turun terhadap kepentingan pembelajaran bahasa Inggris buat putra-putri mereka, maka bisa mengkecilkan pangsa pasar lembaga-lembaga tersebut yang sejauh ini banyak diisi oleh para siswa PAUD dan SD. 

Kita berharap bahwa pendidikan bahasa Inggris di Indonesia khususnya di sekolah dasar tetap dipertahankan karena banyak memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Penulis tetap berpikir bahwa penguasaan bahasa Inggris harus dicapai lebih awal. Ini akan sangat terlambat jika bahasa Inggris diperkenalkan di SMP. Namun, kita harus berbenah, tidak mengulangi langkah keliru ketika pertama kali kebijakan tentang pendidikan bahasa Inggris di sekolah dasar ini diluncurkan. Semua harus disiapkan secara matang, sehingga tidak asal-asalan.

Meskipun akhirnya kebijakan pemerintah sudah bulat untuk tidak memasukkan Bahasa Inggris pada kurikulum mendatang, maka sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh anggota komite III DPD , agar pemerintah tetap membuat alternatif lain supaya siswa tetap dapat menguasai Bahasa Inggris karena sifatnya sudah menjadi bahasa pergaulan internasional (Okezone, 10/10/2012). Jika tidak demikian, penguasaan bahasa Inggris masyarakat kita akan lemah, sehingga tidak mampu memegang kendali dalam komunikasi global dan bangsa kita pun semakin tertinggal.

*) Artikel ini dikirim oleh penulis ke SekolahDasar.Net 

Sumber: http://www.sekolahdasar.net/2012/10/artikel-tidak-ada-lagi-bahasa-inggris-sd.html#ixzz2AUxCOxGq

7 Mata Pelajaran untuk SD di Kurikulum Baru 2013


Rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengubah kurikulum KTSP 2006 dengan kurikulum baru yang akan mulai berlaku 2013 sudah bisa dipastikan akan benar terjadi. Kurikulum pendidikan nasional yang saat ini masih digodok dan jadwalnya akan Februari 2013 nanti terjadi penyederhanaan jumlah mata pelajaran.

Kurikulum pendidikan nasional dengan konsep penyederhanaan jumlah mata pelajaran terus digodok bersama tim dari pemerintah pusat dan sejumlah pakar pendidikan. Hampir dipastikan untuk siswa sekolah dasar (SD) hanya akan ada 7 mata pelajaran dari 11 mata pelajaran sebelumnya diajarkan di bangku sekolah dasar.

Seperti dikatakan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Suyanto yang dikutip dari Kompas (02/10). Inilah 7 mata pelajaran yang akan diajarkan untuk siswa SD di kurikulum pendidikan baru 2013:
1. Pendidikan Agama
2. Bahasa Indonesia
3. PPKn
4. Matematika
5. Kesenian
6. Pendidikan Jasmani dan Olahraga Kesehatan
7. Pengetahuan Umum

Khusus untuk mata pelajaran IPA dan IPS, Kemendikbud menilai kedua mata pelajaran itu belum perlu dipisahkan untuk jenjang SD. Diwacanakan, keduanya akan dilebur menjadi satu mata pelajaran bernama Pengetahuan Umum yang memiliki muatan yang terintegrasi dengan jenjang SMP dan SMA.

Sebelumnya Suyanto juga menyampaikan jumlah mata pelajaran di SD untuk kurikulum pendidikan baru ini akan lebih disederhanakan, tetapi muatannya lebih mendalam. Hal ini berbeda dengan kondisi mata pelajaran di SD saat ini yang cakupannya terlalu luas, tetapi tidak sebanding dengan isi materinya.

Kemendikbud memilih mata pelajaran yang lebih mengedepankan pembentukan sikap dan mengandung dasar-dasar mata pelajaran yang memiliki substansi pengembangan wawasan umum. 
Kurikulum baru ini akan mulai disosialisasikan dan diuji publik sebelum Februari 2013, dan mulai berlaku pada tahun ajaran 2013-2014. Bagaimana komentar Bapak Ibu Guru dengan penyerderhanaan mata pelajaran di SD dengan menjadi 7 mata pelajaran saja? Tulis saja di kolom komentar! 



Selasa, 23 Oktober 2012

Pendidikan Karakter Menuju Pembelajaran Yang Inklusif

            Pendidikan seperti yang diamanatkan dalam Pasal 31 UUD 1945, adalah hak dari semua warga negara Indonesia dan merupakan kewajiban dari Pemerintah untuk memfasilitasi dan menyediakan kelengkapan sarana dan Prasarananya. Kebijakan Pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan sembilan tahun yang disemangati oleh seruan internasional Education For All yang dipelopori UNESCO, sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum Dakar., Sinegal tahun 2000. yang  senafas pula dengan UU No. 20 tahun 2003, tentang pendidikan Nasional.

Berbagai upaya telah dilakukan dari penyediaan lembaga yang standart 'biasa' sampai pada Sekolah RSBI. Demikian juga untuk peserta didik dari anak-anak normal maupun Anak yang berkebutuhan Khusus(ABK) Pengelolaan anggaran di APBN pun tidak main-main,  20% anggaran untuk pendidikan bukanlah jumlah yang sedikit, yang barang tentu didalamnya untuk sarana dan prasarana dan peningkatan kualitas dan perbaikan kesejahteraan guru.

Pendidikan adalah elemen penting dalam pembangunan bangsa, karena dari pendidikanlah karakter bangsa terbentuk. Masih hangat dalam ingatan, bahwa dibeberapa dekade terakhir  kurikulum pendidikan kita sangat 'peduli' dengan pembentukan karakter bangsa. tentu kita semua takkan lupa dengan mata Pelajaran PMP, PSPB sampai pada pembekalan Penataran P4 bagi siswa baru. yang merupakan pengenalan nilai-nilai yang diharapkan nantinya dapat terealisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan kita saat ini cenderung lebih mengedepankan penguasaan aspek keilmuan dan  kecerdasan, namun mengabaikan pendidikan karakter. Pengetahuan tentang kaidah moral yang didapatkan dalam pendidikan moral atau etika di sekolah-sekolah saat ini semakin ditinggalkan. Sebagian orang mulai tidak memperhatikan lagi bahwa pendidikan tersebut berdampak pada perilaku seseorang. Padahal pendidikan diharapkan mampu menghadirkan generasi yang berkarakter kuat, karena manusia sesungguhnya dapat dididik , dan harus sejak dini. Meski manusia memiliki karakter bawaan, tidak berarti karakter itu tak dapat diubah.
Era keterbukaan informasi akibat globalisasi mempunyai faktor-faktor negatif antara lain mulai lunturnya nilai-nilai kebangsaan   yang dianggap sempit seperti patriotisme dan nasionalisme yang dianggap tidak cocok dengan nilai-nilai globalisasi dan universalisasi.

a. Memahami karakter Anak

Sedikit bergeser dari tema di atas, ( penulis merasa terlalu berat......, biar dipikirkan oleh tuan-tuan yang berwenang ),mari  kita bahas yang ringan-ringan saja...

  Pendidikan karakter harus dimulai sejak dini. anak pada masa-masa awal sekolah merupakan individu yang masih mampu mengembangkan kecerdasannya. Mereka tidak bisa diatur dengan kepentingan orang lain. semakin banyak aturan dan larangan, maka semakin banyak pula ia akan kehilangan potensi diri dan kreatifitas. Seseorang tidak akan menjadi manusia yang sejati dan utuh jika sebelumnya dia tidak menjadi sorang anak sejati dan utuh. Dunia anak-anak tentu tidak sama dengan duania dewasa . Pendidikan disekolahpun dirancang sesuai dengan perkembangaan anak.

Setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda. Kesulitan-kesulitan yang dialamipun tidaklah sama. Kesulitan yang sering ditemuai adalah :

 1. Kesulitan pra akademik, yang sering kita temukan adalah anak tidak mampu nmelakukan gerakan tubuh dengan benar walaupun tidak ada kelainan pada tubuh.. Manifestasinya berupa disfasia  verbal (bicara) dan non verbal (menulis, bahasa isyarat).

2. Kesulitan Belajar Akademik. Kesulitan belajar ini diantaranya,         -  kesuliutan membaca(Disleksia),
 -  kesulitan dalammenulis (disgrafia),
 -  kesulitan dalanm berhitung (diskalkulia), 
-   banyakpula  ditemui anakyang berpotensu unggul secara intelektual, namun tidak bisa mewujudkannya dalam prestasi belajar.yang dalam bahasa sehari-hari disebut minder, namun para ahli menyebutnya underachiever.

Underachiever dapat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga yang kurang harmonis, atau dari kebiasaan kita yang dengan mudah memberi label tertentu kepada mereka. (misalnya : jelek, bodoh, dan lain-lain,)
Lingkungan sekolah juga sangat besar pengaruhnya, sebagai akibat dari bentuk interaksi komunikasi guru dan siswa yang kurang tepat.
Selain sekolah dan keluarga, Lingkungan masyarakat juga sangat besar pengaruhnya, jika anak selalu dalam tekanan dan terancam, anak akan mengalami rasa takut yang luar biasa.

b. Metode Pembelajaran

Dengan memahami karakter anak, dalam proses pembelajaran tentunya kita harus menggunakan strategi daan model pembelajaran yang sesuai dengan karakter anak, jika kita menginginkan materi terserap dengan baik oleh anak. Beberapa model pembelajaran yang sering digunakan diantaranya :


 1. Model PAKEM
    Model PAKEM sangat cocok dengan kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi. Bentuk orientasinya adalah pembelajaran yang mengutamakan keaktifan siswa, kreatif, efektif dan dalaam suasana pembelajaran yang menyenangkan.

2.Model Pembelajaran Tematik.
Pembelajaran yang tematik merupakaan pembelajaran terpadu yang melibatkan beberapa mata pelajaran dalam satu pembelajaran. Siswa di ajak memahami konsep-konseop yang mereka pelajari melalui pengalaman langsung, dan menghubungkannya dengan konseo lain yang sudah mereka pelajari.

3. Model Pembelajaran Kolaborasi.
Colaborative Learning, merupakaan model pembelajaran yang menumbuhkan para siswa bekerjasama  dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan yang sama.

4. Model Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual memungkinkan anak berkorelasi antara pelajaran yang diterima dengan pengalaman sehari-hari yang dialami.

Dengan memahami karakter masing-masing siswa,kita bisa memilih model pembelajran yang lebih ideal dan cocok. model pembelajran diatas adalah contoh sebagian kecil, yang sangat memungkinkan kita mempunyai konsep model sendiri yang lebih  mudah diterima oleh siswa.

Dengan model pembelajaran yang tepat, dengan materi yang pas,maka karakter bisa dibentuk,yang pada akhirnya menjadi pribadi yang berimbang. dengan kemampuan akademik yang tinggi dibarengi dengan moral dan akhlak mulia,akan membawa bangsa ke arah yang lebih baik. Bukan bangsa yang semakin terpuruk dengan perilaku anak-anak bangsanya yang hanya mementingkan kepentingan pribadi daan kelompoknya.